Pembuka: Ketika Keterbukaan Diuji
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah program yang dicetuskan oleh pasangan Capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada awal kampanye Pemilihan Presiden tahun 2024.
Program ini merupakan salah satu janji yang menjadikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menduduki kursi pemerintahan.
Program ini sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh Prabowo sejak 18 tahun lalu. Program ini sejatinya adalah salah satu kebijakan sosial yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi bagi anak sekolah di Indonesia.
Melalui program ini, pada awalnya negara ingin memastikan bahwa setiap anak-anak tidak mengalami stunting serta meningkatkan gizi dan kesehatan bagi anak-anak usia sekolah dasar, sehingga mereka mendapat makanan bergizi setiap harinya.
Namun seharusnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini diberikan kepada ibu hamil karena apabila lewat dari 1000 hari pertama kehidupan ini maka sudah sangat telat untuk mencegah stunting pada anak.
Dibalik niat baik pemerintah tersebut, ada perkara yang lebih senyap tapi tak kalah penting mengenai hal keterbukaan informasi.
Belakangan ini muncul fenomena bahwa pihak sekolah, misalnya kepala sekolah di SDN 006 Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan, diminta untuk menandatangani surat perjanjian kerja sama oleh pihak pertama yaitu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berisikan untuk merahasiakan atau tidak
menyebarluaskan informasi mengenai pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis apabila terjadi Kejadian Luar Biasa, terutama jika muncul kendala di lapangan seperti keracunan.
“Memang benar, MoU (Memorandum of Understanding) yang kami tandatangani dengan SPPG. Jika terjadi kejadian, kami diminta menghubungi SPPG terlebih dahulu,” ujar Humam, Kamis (25/9).
Alasan klasik untuk menjaga kerahasiaan apabila terjadi keracunan yang sangat-sangat sering dilontarkan adalah demi “menjaga citra program” dan “menghindari kepanikan publik”.
Sekilas, alasan tersebut memang terdengar sedikit masuk akal. Namun jika kita telusuri lebih dalam, permintaan seperti ini sesungguhnya berpotensi menggerus kepercayaan publik dan menghambat berjalannya kebijakan.
Oleh karena itu, pandangan bahwa “tidak seharusnya ada kerahasiaan dalam program MBG” bukan hanya idealisme, tapi juga kebutuhan dasar agar program kebijakan ini tetap dipercaya khalayak publik dan berjalan dengan efektif.
Beberapa Faktor yang Menjadi Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan ialah:
Standar Kebersihan & SOP yang Belum Konsisten atau Belum Dipatuhi
Meskipun ada ketentuan teknis dan regulasi, di lapangan ditemukan pelanggaran pada penggunaan bahan baku yang tidak steril atau tidak layak vaksinasi, penyimpanan makanan
yang tidak sampai standar suhu/higienis, distribusi yang memakan waktu lama tanpa kontrol suhu, dan mungkin keterlambatan dalam pengawasan dari pihak terkait (BGN, Dinas Kesehatan, BPOM).
Logistik & Distribusi
Indonesia geografisnya sangat kompleks, pulau-pulau terpencil, daerah 3T dengan
infrastruktur kurang memadai. Menyajikan makanan bergizi dengan standar tinggi
memerlukan rantai pasokan dingin jika ada bahan yang cepat rusak, transportasi yang cepat, dan fasilitas penyimpanan yang baik. Di banyak tempat, kondisi ini belum optimal.
Anggaran vs Kualitas
Dengan anggaran Rp 10.000 per porsi (yang semula diharapkan Rp 15.000 tetapi disesuaikan), ada tantangan besar untuk memenuhi standar gizi dan keamanan makanan sambil menjaga biaya operasional, tenaga kerja, distribusi, bahan baku, keamanan pangan, serta kontrol mutu.
Pengawasan dan Akuntabilitas yang Lemah
Banyak kasus keracunan menandakan bahwa pemeriksaan mutu (quality control) dan audit rutin belum berjalan maksimal.
Kurangnya Edukasi Publik dan Perilaku Penerima Manfaat
Tidak semua keracunan mungkin akibat kesalahan dari pengelola dapur: ada laporan dugaan penyebab seperti siswa tidak cuci tangan, tidak memakai sendok, atau mengonsumsi makanan yang sudah kurang layak.
Penutup: Keterbukaan Adalah Bentuk Penghormatan
Kita sering lupa bahwa program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan milik pemerintah, tapi milik rakyat. Uang yang dipakai berasal dari pajak masyarakat.
Masyarakat berhak tahu, bukan hanya hasilnya, tetapi juga prosesnya. Fenomena permintaan perahasiaan yang terjadi kepada kepala sekolah SDN 006 Seri Kuala
Lobam Bintan mungkin dimaksudkan untuk menjaga citra.
Tapi dalam dunia kebijakan publik modern, citra justru dibangun dari kejujuran, bukan dari kerahasiaan. Citra yang dibangun di
atas penyangkalan hanya akan menjadi rapuh dan mudah runtuh.
Oleh : Ahmad Ibrahim Baifar
Prodi : Kajian Film, Televisi dan Media
Fakultas: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Perguruan Tinggi: Universitas Maritim Raja Ali Haji
NIM: 2505060015