Saturday, October 11, 2025
HomeBatamOsman Hasyim Soroti PP 25/2025, Berpotensi Timbulkan Masalah Perizinan

Osman Hasyim Soroti PP 25/2025, Berpotensi Timbulkan Masalah Perizinan

BATAMSTRAITS.COM, BATAM – Ketua Forum Masyarakat Peduli Batam Maju (FMPBM), Osman Hasyim menyoroti maraknya persoalan yang terjadi di Batam, terutama di sektor pelayaran dan industri maritim. Ia menilai kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan akibat adanya dualisme kebijakan antara Kementerian dan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Menurut Osman, tumpang tindih kewenangan antara Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) dengan BP Batam telah menimbulkan kebingungan bagi para pelaku usaha dan pejabat pelaksana di lapangan.

“Ada dua lembaga yang sama-sama memberikan pelayanan, yaitu KSOP dan BP Batam. Akibatnya, pelayanan menjadi tidak efektif dan tidak efisien, bahkan berpotensi menimbulkan masalah hukum,” ujar Osman usai rapat bersama berbagai instansi dan akademisi di Geudong Kopi, Jalan Natuna Nomor 1-3, Tiban Indah, Kecamatan Sekupang, Kota Batam, Provinsi Kepri, Sabtu (11/10/2025).

Osman menilai, situasi ini telah menimbulkan rasa khawatir di kalangan pejabat maupun penyedia jasa di bidang pelayaran dan industri maritim. Beberapa pihak bahkan disebutnya sedang menghadapi proses hukum akibat ketidaksinkronan kebijakan tersebut.

Lebih lanjut, Osman juga memperingatkan bahwa penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2025 berpotensi memperburuk keadaan. Menurutnya, jika PP tersebut diterapkan tanpa sinkronisasi dengan undang-undang yang berlaku, maka izin dan perizinan yang dikeluarkan bisa dianggap invalid.

“PP 25 ini tidak hanya berdampak kepada masyarakat, tapi juga bisa membuat izin-izin yang dikeluarkan menjadi tidak sah karena tidak bersesuaian dengan perundangan. Dampaknya besar, bisa menimbulkan masalah hukum bagi penerima izin maupun pejabat pemberi izin,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2000, BP Batam mendapatkan kewenangan melalui pelimpahan dari kementerian, bukan mengambil alih. Karena itu, Osman menilai langkah BP Batam yang membuat aturan setingkat perundangan sudah melampaui kewenangan yang diatur.

BACA JUGA:   Traveling Makin Seru dan Awesome Bareng Galaxy A56 5G

“BP Batam itu hanya boleh membuat ketentuan, bukan perundangan. Kalau mengambil alih kewenangan, itu sudah bertentangan dengan undang-undang,” ujarnya.

Sebagai contoh, ia menyinggung persoalan pemanduan dan penundaan kapal yang sempat menyeret sejumlah pihak ke ranah hukum. Kondisi ini merupakan dampak tumpang tindih kewenangan.

“Ada yang bekerja sama dengan KSOP disebut merugikan negara, ada juga yang kerja sama dengan BP malah disebut merugikan juga. Ini bukti nyata betapa kacaunya tumpang tindih kewenangan ini,” katanya.

Osman menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, setiap lembaga harus menjalankan kewenangan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Jika tidak, potensi pelanggaran hukum akan terus terjadi.

Untuk mencari solusi, FMPBM akan segera Forum Group Discussion (FGD) lintas sektor. Melibatkan akademisi, praktisi hukum, serta perwakilan DPD dan DPRD Kepri maupun Kota Batam.

“Seharusnya BP Batam cukup meminta pelimpahan kewenangan dari kementerian, bukan membuat aturan sendiri. Kalau ingin mempercepat pelayanan, koordinasi dan pelimpahan sudah cukup. Tidak perlu menabrak undang-undang,” ujarnya.

Ditempat yang sama, Anggota Forum Masyarakat Peduli Batam Maju yang juga Praktisi hukum, Sayuti menilai hubungan kelembagaan antara Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dinilainya tidak serasi.

Menurutnya kondisi ini menimbulkan kebingungan di masyarakat dan membuat seolah-olah Kota Batam sudah tidak lagi tidak memiliki kepemimpinan yang tegas di tingkat pemerintahan daerah.

“Dalam bahasa saya pribadi, hari ini Batam tidak punya wali kota. Yang ada sekarang hanya Kepala BP Batam,” ujar Sayuti.

Menurutnya, ketidaktegasan dalam menempatkan posisi Wali Kota Batam sebagai pemimpin yang sah secara konstitusional telah menimbulkan kesan bahwa peran BP Batam lebih dominan dalam pengambilan kebijakan.

BACA JUGA:   Menparekraf: Kepri Sebagai Hub Wisata Olahraga Golf di Indonesia

Ia menilai, hal ini bertentangan dengan semangat undang-undang yang mengatur otonomi daerah dan kepemimpinan kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.

“Batam ini punya penduduk, dan hak penduduk Batam merupakan amanah undang-undang. Kita tidak punya Kartu Tanda Penduduk BP Batam. Yang kita punya adalah Kartu Tanda Penduduk Pemerintah Kota Batam. Jadi jelas bahwa masyarakat Batam berada di bawah kepemimpinan wali kota, bukan Kepala BP Batam,” katanya.

Ia menyoroti pula sejumlah fenomena di lapangan yang memperlihatkan lemahnya kehadiran wali kota sebagai figur utama dalam kebijakan publik. Menurutnya, berbagai kegiatan maupun keputusan yang muncul akhir-akhir ini lebih banyak ditentukan oleh pihak BP Batam, bukan oleh Pemko Batam.

“Dari hasil penelusuran kami di lapangan, banyak hal yang menunjukkan bahwa wali kota Batam perlu lebih menegaskan dirinya sebagai pemimpin daerah ini. Jabatan ex-officio Kepala BP Batam adalah turunan dari kedudukannya sebagai Wali Kota Batam, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Sayuti juga mengingatkan bahwa secara etika dan simbolik, penggunaan istilah dalam dokumen maupun media publik memiliki dampak psikologis terhadap persepsi masyarakat.

Ia mencontohkan, beberapa spanduk atau dokumen resmi yang menuliskan “Wali Kota Batam dan Kepala BP Batam” seolah menggambarkan dua lembaga yang berdiri sejajar.

“Kalimat seperti itu menimbulkan kesan bahwa Kepala BP Batam berdiri sendiri tanpa kaitan ex-officio dengan Wali Kota Batam. Padahal, secara struktur dan filosofi pemerintahan, keberadaan BP Batam tidak akan ada tanpa adanya wali kota Batam,” katanya.

Sayuti khawatir, jika kondisi ini terus dibiarkan, akan muncul apa yang ia sebut sebagai fenomena “Super Body” yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan berlebih tanpa kontrol politik dari masyarakat melalui mekanisme pemilihan umum.

BACA JUGA:   Bank Indonesia Prediksi Ekonomi Kepri 2025 Tumbuh 5 Persen

“Perlu kita ingat, wali kota Batam itu dipilih oleh masyarakat Batam melalui pemilihan langsung, bukan oleh karyawan BP Batam. Jadi secara legitimasi, wali kota adalah pemimpin sah rakyat Batam,” katanya.

Lebih jauh, Sayuti juga menyoroti persoalan yang belum tuntas terkait Surat Keputusan (SK) Nomor 263 Tahun 2023 tentang Kedudukan Kampung Tua dan kebijakan WTO (Wajib Tanah Otorita) dengan nilai 0 rupiah. Hingga kini, menurutnya, BP Batam belum melaksanakan ketentuan tersebut dengan alasan yang tidak jelas.

“Saya sedang mengajukan permohonan kepada Wali Kota Batam, dalam kapasitasnya sebagai ex-officio Kepala BP Batam, untuk menindaklanjuti SK tersebut. Namun sampai hari ini, BP Batam belum berani mengeluarkan faktor WTO 0 rupiah dengan alasan yang belum bisa diterima publik,” ujarnya.

Ia berharap, pertemuan dan diskusi yang digelar ini bisa menghasilkan langkah nyata untuk mempertegas kedudukan pemerintahan daerah. Ia bahkan mengusulkan agar hasil pembahasan ini disampaikan kepada DPR RI dan DPD RI perwakilan Provinsi Kepulauan Riau untuk diteruskan ke Presiden.

“Barangkali perlu ada penerobosan dan tindakan nyata. Jika perlu, hasil rapat ini kita ajukan ke DPR RI dan DPD RI agar bisa dibahas di tingkat nasional. Ini bukan soal personal, tapi soal sistem dan kedudukan hukum pemerintahan di Batam,” tegasnya.

Sayuti menyampaikan bahwa pernyataannya bukan bentuk penyerangan terhadap lembaga manapun, melainkan panggilan moral untuk mengembalikan marwah pemerintahan Batam sesuai mandat undang-undang.

“Ini bentuk kepedulian agar kedudukan, kewenangan, dan kehormatan Wali Kota Batam sebagai pemimpin pilihan rakyat tidak tereduksi oleh lembaga yang seharusnya menjadi bagian dari fungsi koordinatif, bukan dominatif,” ujarnya. (uly)

spot_img
BERITA TERKAIT
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA POPULER