Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dibentuk sebagai model terobosan untuk percepatan pembangunan ekonomi nasional dan regional. Namun, keberadaannya menciptakan ketegangan struktural dengan semangat desentralisasi yang diusung oleh Undang-Undang Otonomi Daerah.
1. Relevansi dan Ketegangan UU Otonomi Daerah di Wilayah KEK
Relevansi UU Otoda menjadi kompleks di kawasan KEK karena KEK beroperasi berdasarkan prinsip kekhususan yang mengedepankan kepentingan nasional dan memiliki regulasi yang bersifat derogasi (pengecualian) dari peraturan umum.
A. Pengurangan Kewenangan (Resentralisasi)
Implementasi UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) memperkuat kecenderungan resentralisasi kewenangan di kawasan KEK:
i. Minimalisasi Kewenangan Daerah:
UU Cipta Kerja meminimalkan kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan perizinan di kawasan KEK. Perizinan berusaha dan nonperizinan diselenggarakan oleh Administrator KEK, yang secara struktural berada di bawah koordinasi Dewan Kawasan (diketuai oleh Gubernur atau Dewan Nasional).
ii. Hierarki Kepentingan:
KEK didirikan dengan prinsip mengutamakan kepentingan nasional. Hal ini secara implisit menempatkan kebijakan otonomi daerah yang bersifat lokal harus selaras, dan seringkali tunduk, pada regulasi dan fasilitas khusus yang diberikan kepada KEK.
iii. Konflik Batas Kewenangan:
Relevansi UU Otoda paling terlihat dalam aspek konflik yurisdiksi. Batas-batas kewenangan antara Pemerintah Daerah otonom dan lembaga pengelola KEK (Badan Usaha dan Administrator) harus diperjelas, terutama dalam hal pengelolaan aset, pelayanan publik di luar perizinan KEK, dan penegakan hukum lokal.
B. Otonomi Fiskal
Dalam konteks KEK, otonomi fiskal daerah diuji. Pemda dituntut memberikan dukungan (seperti keringanan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) sebagai insentif investasi, yang dapat mengurangi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Otonomi di sini berubah fungsi menjadi tanggung jawab dukungan fiskal ketimbang kebebasan mengelola seluruh potensi pendapatan.
2. Peran, Tanggung Jawab, dan Fungsi Pemerintah Daerah dalam Gempuran KEK
Meskipun kewenangan perizinan bergeser ke Administrator KEK, Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) memegang peran dan tanggung jawab krusial yang bersifat suportif, regulatif, dan kolaboratif.
| Pilar | Peran dan Fungsi Utama Pemda | Tanggung Jawab (Menghadapi “Gempuran KEK”)
i. Penyediaan Dukungan – Fungsi Suportif Infrastruktur:
Wajib menyediakan prasarana dan sarana di luar lokasi KEK yang mendukung konektivitas (jalan akses, utilitas air, listrik, dsb.) sesuai kewenangan daerah. Memastikan ketersediaan infrastruktur eksternal yang memadai agar investasi di KEK dapat berjalan lancar.
ii. Regulasi & Insentif – Fungsi Regulatif Daerah:
Memberikan insentif fiskal daerah, seperti pembebasan atau keringanan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, untuk menarik investor. Menyeimbangkan kebutuhan investasi dengan keberlanjutan fiskal daerah. Pemda harus memastikan insentif yang diberikan sepadan dengan manfaat ekonomi jangka panjang.
iii. Keseimbangan Pembangunan – Fungsi Penataan Ruang:
Menetapkan dan menata pemanfaatan ruang di wilayah sekitar KEK. Mencegah ketimpangan sosial dan penataan ruang yang serampangan di sekitar KEK. Pemda harus menjamin tata ruang yang kondusif dan tertib.
iv. Partisipasi Lokal – Fungsi Pemberdayaan Lokal:
Mendorong dan menyediakan lokasi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan koperasi agar dapat menjadi pelaku usaha atau pendukung kegiatan perusahaan di dalam KEK. | Memastikan KEK memberikan dampak positif (spillover effect) pada ekonomi lokal dan penyerapan tenaga kerja daerah, bukan hanya dinikmati oleh investor besar.
V. Kolaborasi dan Kelembagaan – Fungsi Kelembagaan:
Mengoordinasikan dengan Pemerintah Pusat dan Badan Usaha KEK. Gubernur menyiapkan usulan pembentukan Dewan Kawasan. Membangun kolaborasi produktif dalam skema Public-Private Partnership untuk pembangunan dan operasional KEK, serta mengawal kepentingan daerah di tingkat Dewan Kawasan.
Kesimpulan.
“Gempuran KEK” adalah tantangan bagi Pemda untuk bertransisi dari peran sebagai regulator utama (dalam perizinan) menjadi fasilitator dan kolaborator pembangunan. Pemda dituntut untuk:
1. Menerima delegasi kewenangan dan fokus pada penyediaan enabling environment (lingkungan pendukung).
2. Memastikan KEK tidak menjadi “enklave” ekonomi yang terpisah, melainkan mesin pertumbuhan yang terintegrasi dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal (melalui UMKM, kesempatan kerja, dan peningkatan PAD tidak langsung).
3. Menjaga harmonisasi regulasi daerah (Perda) agar tidak bertentangan dengan ketentuan KEK dan UU yang lebih tinggi.
Penulis : Anggota Komisi II DPRD Kota Batam Gabriel Shafto Ara Anggito Sianturi